HA Sopyan BH (kiri) saat meninjau perkebunan dan pesawahan di daerah Kp Sindang Raja Desa Cidolog Kecamatan Cidolog Kabupaten Sukabumi, beberapa waktu lalu. |
Minimnya realisasi alokasi kebutuhan subsidi pupuk ke petani menjadi sinyal lemahnya administrasi yang dibangun oleh pemerintah pusat.
SMM, SUKABUMI – Petani padi di sejumlah daerah kembali mengeluhkan lantaran naiknya biaya produksi akibat kelangkaan stok pupuk subsidi, khususnya di masa pandemic Covid-19 ini.
Anggota Komisi II DPRD
Jabar Fraksi Gerindra, H.A. Sopyan, BHM., mengatakan, kelangkaan stok subsidi
pupuk tersebut ditengarai karena adanya permasalahan alokasi di tingkat
kabupaten atau kota yang tidak sampai pada petani.
Akibatnya, sejumlah
kelompok tani melaporkan adanya kenaikan harga pupuk subsidi yang relatif
tinggi menjelang masa tanam padi tersebut.
“Kelangkaan itu
karena ada tekanan-tekanan atau intervensi politik. Misalnya kalau Rencana
Definitif Kebutuhan Kelompok [RDKK] kebutuhannya 50.000 ton, ke petani itu
tidak pernah sampai segitu, paling hanya 30.000 ton, itu yang disebut Ombudsman
maladministrasi,” kata H.A Sopyan kepada sukabumiNews, ditemui di kediamannya
baru-baru ini.
Berdasarkan laporan
yang dihimpun API, harga Pupuk Subsidi Urea saat ini sebesar Rp135.000 atau
naik Rp5.000 dari Rp130.000 per karung, Pupuk Subsidi NPK Phonska dan ZA
sebesar Rp140.000 atau naik Rp5.000 dari Rp135.000 per karung.
Sementara untuk Pupuk
Organik Petroganik mengalami kenaikan sebesar Rp20.000 menjadi Rp40.000 dari
posisi awal Rp20.000 per karung.
H.A. Soyan menuturkan,
kelangkaan pupuk subsidi itu lantaran sistem perencanaan dan pengawasan hingga
ke petani tidak optimal. Dia mengatakan minimnya realisasi alokasi kebutuhan
subsidi pupuk ke petani menjadi sinyal lemahnya administrasi yang dibangun oleh
pemerintah pusat.
“Ini temuan di
lapangan, pupuk-pupuk bersubsidi bisa dijual non subsidi, pupuk subsidi itu
bisa dijual ke perusahaan-perusahaan yang memiiki HGU perkebunan baik di
kehutanan atau perkebunan itu banyak modusnya,” kata dia.
Dengan demikian, dia
menegaskan, alokasi pupuk subsidi itu relatif tidak tepat sasaran.
Konsekuensinya, biaya produksi gabah menjadi tinggi, sementara nilai jual
produksi menjadi anjlok pada awal tahun depan.
“Kasihan, biasanya
pupuk subsidi untuk mengurangi biaya produksi akhirnya karena telat dari pada
padi mati petani beli pupuk non subsidi tetapi memengaruhi biaya produksi
karena berpengaruh pada tingkat pendapatan,” kata dia.
Untuk itu Sopyan berharap
kepada Distributor pupuk, terutama kepada Pemerintah, dalam hal ini dinas pangan
Provinsi ataupun Dirjen Tanaman Pangan, untuk memperhatikan dan membahas soal
kelangkaan pupuk subsidi ini.