HA Sopyan BHM saat bertemu dengan pengurus Karang Taruna Kecamatan Cidolog, di Kp Sindang Raja Desa Cidolog Kecamatan Cidolog, Kabupaten Sukabumi beberapa waktu lalu. |
Kerugian Sosial Ekonomi dan Alternatif Kebijakan dalam Mengatasi Permasalahan Kemacetan di Sepanjang Jalan Cicurug-Parungkuda, Kabupaten Sukabumi
sukabumiNews.net,
SUKABUMI – Kabupaten Sukabumi bagian Utara merupakan lokasi yang strategis
untuk dikembangkan menjadi lokasi industri. Demikian dikatakan Anggota DPRD
Jabar, HA Sopyan BHM kepada sukabumiNews menaggapi isu kemacetan yang terjadi
di wilayah Kabupaten Sukabumi.
Sopyan
memaparkan, pada tahun 2007, jumlah pabrik industri yang berdiri di Kabupaten
Sukabumi mencapai 139 perusahaan besar yang terdiri dari 57 perusahaan pakaian
jadi, 12 perusahaan pakaian rajutan, 6 perusahaan peci, 26 perusahaan
elektronik, dan 38 perusahaan Air Minum Dalam Kemasan (AMDK).
Menurutnya,
daerah Cicurug-Parungkuda merupakan salah daerah yang terdapat di Kabupaten
Sukabumi Bagian Utara. Pabrik industri yang berdiri di sepanjang jalan
Cicurug-Parungkuda lebih banyak dibanding dengan daerah lain di Kabupaten
Sukabumi Bagian Utara.
“Banyaknya
aktivitas ekonomi yang terjadi di sepanjang jalan Cicurug-Parungkuda seperti
pendistribusian barang, jasa serta mobilitas tenaga kerja tanpa diimbangi
dengan kondisi prasarana jalan yang memadai menjadi penyebab utama adanya
kemacetan di sepanjang jalan Cicurug-Parungkuda,” ungkapnya.
Peningkatan
jumlah kendaraan di sepanjang jalan ini, kata Sopyan, juga menjadi penyebab
adanya kemacetan. Dinas Perhubungan Kabupaten Sukabumi menyatakan bahwa laju
pertumbuhan kendaraan di Kabupaten Sukabumi mencapai 23,34 persen per tahun
sedangkan laju pertumbuhan jalan mencapai kurang dari 1 persen per tahun.
“Kemacetan
yang terjadi di sepanjang jalan tersebut dapat mengurangi manfaat ekonomi yang
seharusnya diterima oleh pengguna kendaraan bermotor. Kemacetan juga dapat
menimbulkan berbagai kerugian seperti kerugian sosial dan ekonomi,” terangnya.
Dalam
hal ini, kata Sopyan, kebijakan pemerintah diperlukan agar kemacetan di
sepanjang jalan Cicurug-Parungkuda dapat diatasi.
“Oleh
karena itu, penelitian ini bertujuan untuk 1) Mengkaji kerugian secara sosial
dan ekonomi yang dirasakan pengguna kendaraan bermotor Cicurug-Parungkuda saat
terjebak kemacetan 2) Menganalisis besarnya kerugian ekonomi pengguna kendaraan
bermotor dari adanya kemacetan 3) Menganalisis alternatif kebijakan pemerintah
dalam mengatasi kemacetan di sepanjang jalan Cicurug-Parungkuda,” bebernya.
Metode yang
digunakan dalam penelitian ini adalah Loss of Earnings (LoE) serta metode
Analisis Hirarki Proses (AHP).
Berdasarkan
hasil penelitian, Kemacetan mengakibatkan pengguna kendaraan bermotor merasakan
stress, lelah, menguras waktu, tidak disiplin, terlambat, berkurang jam kerja
atau belajar, boros bensin, dan hilangnya penghasilan. Pengeluaran pembelian
BBM saat lalu lintas normal untuk mobil adalah Rp 40.358,65 dan Rp 5.259,09
untuk motor.
“Biaya
tersebut meningkat apabila terjebak dalam kemacetan menjadi Rp 53.110,58 untuk
mobil dan Rp 7.740,91 untuk motor. Potensi ekonomi yang hilang akibat adanya
kemacetan yaitu sebesar Rp 4.609.120.990,10 per tahun,” kata Sopyan.
Selanjutnya,
terang Sopyan, perhitungan penghasilan yang hilang akibat adanya kemacetan bagi
responden yang berprofesi sebagai supir yaitu sebesar Rp 3.202,14 untuk satu
kali perjalanan, sehingga rata-rata penghasilan yang hilang per hari untuk
masyarakat yang berprofesi sebagai supir yaitu sebesar Rp 37.272.909,60.
Mengutip
data yang ditulis repository.ipb.ac.id, maka total penghasilan yang hilang
untuk supir dalam satu tahun yaitu sebesar Rp 13.418.247.456,00.
Sopyan
menjelaskan, struktur hirarki pengambilan keputusan untuk alternatif kebijakan
dalam rangka mengurangi kemacetan di sepanjang jalan Cicurug-Parungkuda dengan
AHP terdiri atas, kriteria (aspek ekonomi, aspek sosial budaya, dan aspek manajemen),
aktor (Dinas PU, Dishub, Satlantas, dan Perusahaan), dan alternatif
(Pengoptimalan jalur alternatif, pelebaran jalan, pembatasan jumlah kendaraan,
pembuatan jalan layang, pengaturan jadwal keluar masuk kendaraaan operasional,
dan jadwal keluar masuk buruh-buruh pabrik).
Ditambahkannya bahwa alternatif yang menjadi prioritas pertama yang dipilih oleh decision maker yaitu pengoptimalan jalur alternatif dengan nilai bobot 0,337. (red*)