• Jelajahi

    Copyright © SMM
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Iklan

    Ketua Lajnah Tanfidziyah Majelis Mujahidin, Ustadz Irfan S Awwas

    Tim Redaksi
    , November 23, 2021 WIB



    Oleh; Ustadz Irfan S Awwas

    (Ketua Lajnah Tanfidziyah Majelis Mujahidin)


    Tulisan ini memeng merupakan tulisan lama, tapi kini, dirasa masih relevan dengan kondisi politik nasional yang kian represif bila bersinggungan dengan gerakan Islam. Terutama, setelah densus 88 menangkap paksa tiga orang ulama dan cendekiawan muslim, 16 November 2021 lalu.


    Ketiga orang ulama yang spontan dijadikan tersangka teroris itu, diduga terlibat dalam Jamaah Islamiyah (JI) adalah Ketua PDRI (Partai Dakwah Republik Indonesia) Ahmad Farid Okbah, MA; Dr. Anung Al-Hamat dan Dr. Zain An-Najah, anggota Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI).


    Perbuatan apa yang mereka lakukan sehingga polisi menuduh mereka anggota jaringan teroris?


    Ternyata, Densus 88 masih menggunakan paradigma usang, “Tangkap dulu, cari bukti kemudian”.


    Adilkah mentersangkakan seseorang berdasarkan kecurigaan, atau stigma masa lalu, padahal sebelumnya mereka belum pernah terlibat gerakan teror dan juga, mereka bukan buron teroris?


    Retorika agitatif yang mendiskreditkan ajaran Islam sebagai pemicu terorisme mulai memasuki wilayah sensitif dalam ranah keberagamaan. Dan secara politis berbahaya karena dapat memicu konflik SARA (suku, agama, ras).


    Diyakini bahwa, tidaklah cukup mengatasi bahaya terorisme hanya dengan menghukum para teroris, tanpa membasmi isme atau ideologi pemicu terorisme.


    Ideologi terorisme, dalam pandangan para agitator sekuler dan Islamofobia, identik dengan radikalisme agama. Artinya, radikalisme dalam bentuk tindakan (bom) disebut teror. Sebaliknya, teror dalam wujud isme atau ideologi adalah radikalisme.


    Terorisme yang berkembang di Indonesia, secara simplistik, dianggap buah dari pemahaman radikalisme Islam. Dari simplikasi tersebut, kemudian muncul kategorisasi Islam moderat versus Islam radikal, sikap eksklusif versus inklusif, ideologi nasional versus transnasional.


    Serangan opini pun gencar dilakukan. Tidak saja dilancarkan oleh komunitas Islamofobia, tapi juga melibatkan kelompok oportunis, Muslim ambivalen, dan tentu saja atas nama demokrasi menggunakan kekuasaan negara.


    Kelompok ini selalu meneriakkan ketakutan, perasaan terancam sebagai cermin dari sikap paranoid terhadap kebangkitan Islam.


    Usulan formalisasi syariat Islam di lembaga negara pun dibelokkan menjadi pemaksaan kehendak dan merongrong kekuasaan negara sehingga menciptakan kegelisahan dan saling curiga di kalangan masyarakat.


    Stigmatisasi Islam radikal juga mendapat penguatan dari aparat intelijen, termasuk tokoh-tokoh Islam ambivalen yang ikut memperkeruh situasi. Pernyataan mantan kepala BIN, AM Hendrapriyono, dan mantan kadensus, Suryadarma Salim, yang menuding kelompok Islam garis keras yang mengarah kepada Darul Islam, Ikhwanul Muslimin, dan Wahabi adalah biang kerok ideologi terorisme di Indonesia.


    Bahkan, seorang staf ahli kapolri, Anton Tabah, menuduh ayat Al-Qur’an (surat Al-Maidah ayat 54, 55, dan 57) sebagai sumbu lepas terorisme. Tudingan ini jelas merupakan penistaan terhadap agama dan fitnah keji terhadap umat Islam.


    Senada dengan itu adalah serangan agitatif dari aktivis Jaringan Islam liberal (JIL) yang kini sudah bermetamorfosa dengan liberalisme, komunisme, syiah.


    Slogan Islam Isy Kariman aw Mut Syahidan (Hidup Mulia atau Mati Syahid), oleh mereka, secara negatif dicemooh sebagai ‘teologi maut’ yang dapat membangkitkan militansi dan pemicu terorisme.


    Padahal, dalam khazanah Islam, ungkapan itu sangat kontekstual dan heroik karena disampaikan oleh ibunda Asma binti Abu Bakar Shidiq kepada putranya Abdullah bin Zubair agar tetap semangat berperang membela kebenaran sampai titik darah penghabisan, melawan kekuasaan tirani yang saat itu dipimpin Yazid bin Muawiyah.


    Slogan ini juga digunakan oleh umat Islam Indonesia ketika mengenyahkan penjajah kolonial Belanda dari negeri ini.


    BN Antiterorisme


    Imajinasi terorisme selama ini datang dari blok Barat. Namun, momentum terorisme yang dipropagandakan oleh rezim AS di bawah pimpinan Presiden George Walker Bush kini dialihkan ke Indonesia.


    Buktinya, dalam Kabinet Indonesia Bersatu jilid dua (2009-2014), pemerintahan SBY justru menyiapkan rekayasa konstitusional dengan membentuk Badan Nasional Antiterorisme.


    Padahal, akibat kegagalan rezim Bush membuktikan tuduhannya sekalipun dengan mengejar Al Qaida dan Taliban hingga ke Irak, Afghanistan, Pakistan, dan Indonesia, membuat kelompok HAM internasional mengecam rezim Bush sebagai pelanggar HAM berat utama di dunia.


    Bahkan, mantan presiden AS, Jimmy Carter, dengan pedas mengkritik kebijakan teror George Bush, ”Amerika lebih merupakan negara haus perang daripada negara yang beradab dan mencintai perdamaian.”


    Dalam kaitan ini, sungguh ironis, karena ternyata kalangan politikus Muslim tidak berkutik menghadapi stigma barat dan ikut saja arus gerak politiking yang direkayasa orang lain.


    Dalam tulisan berjudul Urgensi Badan Nasional Antiterorisme, Ketua Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa DPR RI, kala itu, Marwan Ja’far, tampaknya termasuk politikus Muslim yang tidak kuat bertahan menghadapi depolitisasi gerakan Islam.


    Berikut beberapa inti yang ditulis Marwan Ja’far;


    Pertama, kelompok fundamentalisme agama selalu berusaha melawan struktur yang dianggap bertentangan dengan nilai sebuah prinsip dan menggantikannya dengan nilai dan prinsip ideologisnya, baik dalam bidang sosial, ekonomi, maupun politik.


    Organisasi seperti itu kini tumbuh subur di beberapa negara, seperti Ikhwanul Muslimin di Mesir, Jamaat al-Islami di Pakistan, Jamaah Islamiyah di Malaysia, Filipina, dan Indonesia, yang merupakan gerakan sempalan dari Darul Islam yang mencita-citakan Negara Islam Indonesia.


    Kedua, gerakan yang mempunyai jargon, seperti klaim pemurtadan dan pengkafiran orang lain, merupakan indikator kuat adanya puritanisme atau radikalisme agama yang terus berkembang, termasuk di Indonesia. Kondisi ini tentunya sangat membahayakan eksistensi bangsa yang plural, seperti Indonesia.


    Ketiga, bentuk perlindungan negara yang direpresentasikan pemerintah atas segenap warganya adalah membentuk Badan Nasional Penanggulangan Terorisme. (Republika, 7/12/09).


    Urgensi syariat Islam


    Siapa pun yang mengaitkan ajaran Islam dengan terorisme, biasanya datang dari komunitas yang dekat dengan Barat dan antiformalisasi syariat Islam.


    Tudingan Marwan Ja’far bahwa Islam sebagai sumber terorisme sehingga perlu perlindungan oleh negara atas bahaya terorisme lewat BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme), tidaklah proporsional.


    Sebagaimana korupsi, pemerintah sudah banyak membentuk badan antikorupsi. Faktanya, korupsi terus merajalela dan koruptor tidak pernah jera walau sudah banyak dihukum penjara puluhan tahun. Bahkan parpol telah menjadi sarang korupsi.


    Pada masa Orde Baru, kekuasaan politik cenderung represif pada Islam karena dianggap menjadi salah satu potensi ancaman pada rezim yang sedang berkuasa. Upaya sistematis dilakukan oleh kekuasaan formal untuk menekan gerak politik umat Islam, termasuk pemberian label ekstrim kanan, subversi, radikal, DI-TII, teroris, dan sebagainya.


    Ujung-ujungnya, malah meneror dan mengintimidasi aktivis Islam untuk tidak bisa bergerak maju dalam bidang sosial politik.


    Tidak itu saja, partai politik yang berbasis umat Islam pun secara sistematis digiring ke arah meninggalkan asas Islamnya. Demikian pula dengan ormas Islam sekalipun yang akhirnya mengubah asas Islam menjadi asas lain.


    Lalu, apakah dengan politik seperti itu Indonesia menjadi negara yang sejahtera, adil, dan beradab? Apakah perseteruan institusi hukum, kezaliman terhadap rakyat kecil, kemelaratan, korupsi, pembunuhan, dan segala kekacauan politik yang terjadi sekarang disebabkan oleh perjuangan penegakan syariat Islam? Ataukah akibat kebobrokan kaum demokrasi yang terbukti tidak becus mengatasi bahaya terorisme, korupsi, dan dekadensi moral?


    Jika klaim pemurtadan dan pengkafiran dianggap indikasi terorisme Islam, bagaimana Anda memosisikan kitab suci Al-Qur’an yang dalam banyak ayat menyatakan Yahudi dan Nasrani adalah kafir?


    Sebagai anggota DPR dari Fraksi PKB, apakah Anda akan mengusulkan ayat-ayat ‘nonpluralis’ ini supaya diamendemen agar memenuhi selera Barat?


    Sebaliknya, orang-orang Yahudi dan Nasrani menganggap umat Islam sesat sehingga untuk menyelamatkannya harus dimurtadkan dari Islam. Apakah PKB berani menyatakan tindakan pemurtadan terhadap umat Islam sebagai indikasi terorisme agama?


    Sebagai koreksi pemikiran, para politikus Muslim perlu mempertimbangkan ucapan Dr Sujatmoko, seorang yang bukan ulama, tetapi memiliki kecerdasan intelektual.


    Pada awal dekade 90-an, berdasar pengalamannya sebagai dubes RI di PBB dan rektor Universitas PBB di Tokyo, Sujatmoko mencoba menepis agitasi kaum oportunis di Indonesia yang menganggap syariat Islam sebagai ideologi radikal dan pemicu terorisme.


    ”Komunisme telah dicoba dan ternyata gagal,” kata Sujatmoko.


    Selanjutnya, dikatakan, ”Kapitalisme dengan segala kejahatannya dipraktikkan dan gagal menciptakan keadilan sosial dan kemanusiaan yang adil dan beradab.


    Demikian pula sosialisme, lebih dari sepertiga abad gagal menciptakan keadilan sosial dan kesejahteraan rakyat, terutama buruh dan petani.


    Isme-isme lain seperti komunisme juga gagal menciptakan dunia yang damai, bahkan hanya sempat hidup beberapa tahun saja, seperti nazisme dan fasisme. Oleh karena itu, mengapa kita tidak mencoba syariat Islam sebagai alternatif untuk memperbaiki negeri kita?” demikian Sujatmoko.


    Maka dalam kaitan ini, kita berharap pada rezim penguasa, khususnya Densus 88. Hentikanlah upaya depolitisasi dan kriminalisasi ulama. Semoga Indonesia ke depan, semakin damai, harmonis dan sejahtera.


    Sumber: Arrahmah
    Komentar

    Tampilkan

    Terkini