Oleh; Ustadz Irfan S
Awwas
(Ketua Lajnah Tanfidziyah Majelis Mujahidin)
Tulisan ini memeng merupakan tulisan lama, tapi kini, dirasa masih relevan dengan kondisi politik nasional yang kian represif bila bersinggungan dengan gerakan Islam. Terutama, setelah densus 88 menangkap paksa tiga orang ulama dan cendekiawan muslim, 16 November 2021 lalu.
Ketiga orang ulama
yang spontan dijadikan tersangka teroris itu, diduga terlibat dalam Jamaah
Islamiyah (JI) adalah Ketua PDRI (Partai Dakwah Republik Indonesia) Ahmad Farid
Okbah, MA; Dr. Anung Al-Hamat dan Dr. Zain An-Najah, anggota Komisi Fatwa
Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Perbuatan apa yang
mereka lakukan sehingga polisi menuduh mereka anggota jaringan teroris?
Ternyata, Densus 88
masih menggunakan paradigma usang, “Tangkap dulu, cari bukti kemudian”.
Adilkah
mentersangkakan seseorang berdasarkan kecurigaan, atau stigma masa lalu,
padahal sebelumnya mereka belum pernah terlibat gerakan teror dan juga, mereka
bukan buron teroris?
Retorika agitatif
yang mendiskreditkan ajaran Islam sebagai pemicu terorisme mulai memasuki
wilayah sensitif dalam ranah keberagamaan. Dan secara politis berbahaya karena
dapat memicu konflik SARA (suku, agama, ras).
Diyakini bahwa,
tidaklah cukup mengatasi bahaya terorisme hanya dengan menghukum para teroris,
tanpa membasmi isme atau ideologi pemicu terorisme.
Ideologi terorisme,
dalam pandangan para agitator sekuler dan Islamofobia, identik dengan
radikalisme agama. Artinya, radikalisme dalam bentuk tindakan (bom) disebut
teror. Sebaliknya, teror dalam wujud isme atau ideologi adalah radikalisme.
Terorisme yang berkembang
di Indonesia, secara simplistik, dianggap buah dari pemahaman radikalisme
Islam. Dari simplikasi tersebut, kemudian muncul kategorisasi Islam moderat
versus Islam radikal, sikap eksklusif versus inklusif, ideologi nasional versus
transnasional.
Serangan opini pun
gencar dilakukan. Tidak saja dilancarkan oleh komunitas Islamofobia, tapi juga
melibatkan kelompok oportunis, Muslim ambivalen, dan tentu saja atas nama
demokrasi menggunakan kekuasaan negara.
Kelompok ini selalu
meneriakkan ketakutan, perasaan terancam sebagai cermin dari sikap paranoid
terhadap kebangkitan Islam.
Usulan formalisasi
syariat Islam di lembaga negara pun dibelokkan menjadi pemaksaan kehendak dan
merongrong kekuasaan negara sehingga menciptakan kegelisahan dan saling curiga
di kalangan masyarakat.
Stigmatisasi Islam
radikal juga mendapat penguatan dari aparat intelijen, termasuk tokoh-tokoh
Islam ambivalen yang ikut memperkeruh situasi. Pernyataan mantan kepala BIN, AM
Hendrapriyono, dan mantan kadensus, Suryadarma Salim, yang menuding kelompok
Islam garis keras yang mengarah kepada Darul Islam, Ikhwanul Muslimin, dan
Wahabi adalah biang kerok ideologi terorisme di Indonesia.
Bahkan, seorang staf
ahli kapolri, Anton Tabah, menuduh ayat Al-Qur’an (surat Al-Maidah ayat 54, 55,
dan 57) sebagai sumbu lepas terorisme. Tudingan ini jelas merupakan penistaan
terhadap agama dan fitnah keji terhadap umat Islam.
Senada dengan itu
adalah serangan agitatif dari aktivis Jaringan Islam liberal (JIL) yang kini
sudah bermetamorfosa dengan liberalisme, komunisme, syiah.
Slogan Islam Isy
Kariman aw Mut Syahidan (Hidup Mulia atau Mati Syahid), oleh mereka, secara
negatif dicemooh sebagai ‘teologi maut’ yang dapat membangkitkan militansi dan
pemicu terorisme.
Padahal, dalam
khazanah Islam, ungkapan itu sangat kontekstual dan heroik karena disampaikan
oleh ibunda Asma binti Abu Bakar Shidiq kepada putranya Abdullah bin Zubair
agar tetap semangat berperang membela kebenaran sampai titik darah penghabisan,
melawan kekuasaan tirani yang saat itu dipimpin Yazid bin Muawiyah.
Slogan ini juga
digunakan oleh umat Islam Indonesia ketika mengenyahkan penjajah kolonial
Belanda dari negeri ini.
BN Antiterorisme
Imajinasi terorisme
selama ini datang dari blok Barat. Namun, momentum terorisme yang
dipropagandakan oleh rezim AS di bawah pimpinan Presiden George Walker Bush
kini dialihkan ke Indonesia.
Buktinya, dalam
Kabinet Indonesia Bersatu jilid dua (2009-2014), pemerintahan SBY justru
menyiapkan rekayasa konstitusional dengan membentuk Badan Nasional
Antiterorisme.
Padahal, akibat
kegagalan rezim Bush membuktikan tuduhannya sekalipun dengan mengejar Al Qaida
dan Taliban hingga ke Irak, Afghanistan, Pakistan, dan Indonesia, membuat
kelompok HAM internasional mengecam rezim Bush sebagai pelanggar HAM berat
utama di dunia.
Bahkan, mantan
presiden AS, Jimmy Carter, dengan pedas mengkritik kebijakan teror George Bush,
”Amerika lebih merupakan negara haus perang daripada negara yang beradab dan
mencintai perdamaian.”
Dalam kaitan ini,
sungguh ironis, karena ternyata kalangan politikus Muslim tidak berkutik
menghadapi stigma barat dan ikut saja arus gerak politiking yang direkayasa
orang lain.
Dalam tulisan
berjudul Urgensi Badan Nasional Antiterorisme, Ketua Fraksi Partai Kebangkitan
Bangsa DPR RI, kala itu, Marwan Ja’far, tampaknya termasuk politikus Muslim
yang tidak kuat bertahan menghadapi depolitisasi gerakan Islam.
Berikut beberapa
inti yang ditulis Marwan Ja’far;
Pertama, kelompok
fundamentalisme agama selalu berusaha melawan struktur yang dianggap
bertentangan dengan nilai sebuah prinsip dan menggantikannya dengan nilai dan
prinsip ideologisnya, baik dalam bidang sosial, ekonomi, maupun politik.
Organisasi seperti
itu kini tumbuh subur di beberapa negara, seperti Ikhwanul Muslimin di Mesir,
Jamaat al-Islami di Pakistan, Jamaah Islamiyah di Malaysia, Filipina, dan
Indonesia, yang merupakan gerakan sempalan dari Darul Islam yang
mencita-citakan Negara Islam Indonesia.
Kedua, gerakan yang
mempunyai jargon, seperti klaim pemurtadan dan pengkafiran orang lain,
merupakan indikator kuat adanya puritanisme atau radikalisme agama yang terus
berkembang, termasuk di Indonesia. Kondisi ini tentunya sangat membahayakan
eksistensi bangsa yang plural, seperti Indonesia.
Ketiga, bentuk
perlindungan negara yang direpresentasikan pemerintah atas segenap warganya
adalah membentuk Badan Nasional Penanggulangan Terorisme. (Republika, 7/12/09).
Urgensi syariat
Islam
Siapa pun yang
mengaitkan ajaran Islam dengan terorisme, biasanya datang dari komunitas yang
dekat dengan Barat dan antiformalisasi syariat Islam.
Tudingan Marwan
Ja’far bahwa Islam sebagai sumber terorisme sehingga perlu perlindungan oleh
negara atas bahaya terorisme lewat BNPT (Badan Nasional Penanggulangan
Terorisme), tidaklah proporsional.
Sebagaimana korupsi,
pemerintah sudah banyak membentuk badan antikorupsi. Faktanya, korupsi terus
merajalela dan koruptor tidak pernah jera walau sudah banyak dihukum penjara
puluhan tahun. Bahkan parpol telah menjadi sarang korupsi.
Pada masa Orde Baru,
kekuasaan politik cenderung represif pada Islam karena dianggap menjadi salah
satu potensi ancaman pada rezim yang sedang berkuasa. Upaya sistematis
dilakukan oleh kekuasaan formal untuk menekan gerak politik umat Islam,
termasuk pemberian label ekstrim kanan, subversi, radikal, DI-TII, teroris, dan
sebagainya.
Ujung-ujungnya, malah
meneror dan mengintimidasi aktivis Islam untuk tidak bisa bergerak maju dalam
bidang sosial politik.
Tidak itu saja,
partai politik yang berbasis umat Islam pun secara sistematis digiring ke arah
meninggalkan asas Islamnya. Demikian pula dengan ormas Islam sekalipun yang
akhirnya mengubah asas Islam menjadi asas lain.
Lalu, apakah dengan
politik seperti itu Indonesia menjadi negara yang sejahtera, adil, dan beradab?
Apakah perseteruan institusi hukum, kezaliman terhadap rakyat kecil,
kemelaratan, korupsi, pembunuhan, dan segala kekacauan politik yang terjadi
sekarang disebabkan oleh perjuangan penegakan syariat Islam? Ataukah akibat
kebobrokan kaum demokrasi yang terbukti tidak becus mengatasi bahaya terorisme,
korupsi, dan dekadensi moral?
Jika klaim pemurtadan
dan pengkafiran dianggap indikasi terorisme Islam, bagaimana Anda memosisikan
kitab suci Al-Qur’an yang dalam banyak ayat menyatakan Yahudi dan Nasrani
adalah kafir?
Sebagai anggota DPR
dari Fraksi PKB, apakah Anda akan mengusulkan ayat-ayat ‘nonpluralis’ ini
supaya diamendemen agar memenuhi selera Barat?
Sebaliknya,
orang-orang Yahudi dan Nasrani menganggap umat Islam sesat sehingga untuk
menyelamatkannya harus dimurtadkan dari Islam. Apakah PKB berani menyatakan tindakan
pemurtadan terhadap umat Islam sebagai indikasi terorisme agama?
Sebagai koreksi
pemikiran, para politikus Muslim perlu mempertimbangkan ucapan Dr Sujatmoko,
seorang yang bukan ulama, tetapi memiliki kecerdasan intelektual.
Pada awal dekade
90-an, berdasar pengalamannya sebagai dubes RI di PBB dan rektor Universitas
PBB di Tokyo, Sujatmoko mencoba menepis agitasi kaum oportunis di Indonesia
yang menganggap syariat Islam sebagai ideologi radikal dan pemicu terorisme.
”Komunisme telah
dicoba dan ternyata gagal,” kata Sujatmoko.
Selanjutnya,
dikatakan, ”Kapitalisme dengan segala kejahatannya dipraktikkan dan gagal
menciptakan keadilan sosial dan kemanusiaan yang adil dan beradab.
Demikian pula
sosialisme, lebih dari sepertiga abad gagal menciptakan keadilan sosial dan
kesejahteraan rakyat, terutama buruh dan petani.
Isme-isme lain
seperti komunisme juga gagal menciptakan dunia yang damai, bahkan hanya sempat
hidup beberapa tahun saja, seperti nazisme dan fasisme. Oleh karena itu,
mengapa kita tidak mencoba syariat Islam sebagai alternatif untuk memperbaiki
negeri kita?” demikian Sujatmoko.